Tuesday, August 29, 2006

Polemik Abadi Itu

Kata Pak Totot (http://pakde.com), ada sebuah polemik abadi dalam periklanan. Apakah iklan yang kreatif (iklan award-winning) itu memang mencapai tujuannya, menjadi iklan yang menjual?

Maka kemudian Pak Totot mengutip sebuah penelitian:

Riset 2002, yang dilakukan oleh Leo Burnett Worldwide, melibatkan 250 iklan (televisi) yang paling sering memenangkan award di berbagai festival periklanan di seluruh dunia selama 1999, 2000, dan 2001. Kepada biro iklan pembuat iklan tersebut diajukan lima pertanyaan sederhana. Pertama, apa tujuan iklan itu? Kedua, menurut pendapat biro iklan dan klien, apakah tujuan tersebut berhasil dicapai? Ketiga, jika “ya”, berikan penjelasan rinci. Keempat, jika “tidak”, apa penyebabnya? Dan kelima, berikan rincian award yang diraih oleh iklan tersebut.

125 biro iklan dari 26 negara -- mewakili 172 iklan pemenang award -- memberikan jawaban. Hasilnya, 82% berhasil mencapai tujuan yang disasar. Dari jumlah itu, 65% sukses mencapai target penjualan dan 35% sukses meraih tujuan lain ( awareness, perubahan citra, dan sebagainya). Semua didukung dengan data hasil penjualan dan bukti lain seperti tracking studies, dan lain-lain.

Dan para kreatif, dengan penuh semangat, menemukan pembenaran. Bahwa apa yang mereka lakukan memang benar-benar bermanfaat bagi pemasar.

“Buatlah iklan berbobot award winning, karena iklan jenis itu punya peluang 82% mencapai tujuan, termasuk sales,” kata Enin Supriyanto, Creative Director Satucitra Advertising. Untuk mereka (biro iklan dan klien) yang menginginkan keduanya sekaligus (sales dan award), lanjutnya, pilihan yang tersedia sebenarnya jadi tinggal satu: buatlah iklan sebagus-bagusnya!

Gandhi Suryoto, Executive Creative Director biro iklan Dentsu, segendang sepenarian. “82% business success menurut riset itu, kurang memberikan bukti apa lagi?” kata praktisi periklanan langganan pemenang award ini. “Buat saya tetap, advertising adalah business of creativity. Saya setuju satu-satunya agenda praktisi periklanan saat ini adalah: buatlah iklan sebagus-bagusnya! ”

Kemudian saya mencoba mengkritisi polemik ini. Dari sudut yang mungkin terlewatkan.

Pertama, penelitian itu dilakukan dari satu pihak (orang kreatif), di mana ada tendensi, point of view yang dimiliki oleh peneliti. Isunya adalah netralitas.

Dalam kepentingan dan sudut pandang, seorang peneliti akan mengesampingkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang menjadi kepentingannya. Minimal, ada biasnya lah. Independensi dan netralitas. Ini poin pertama. Karena itu kita harus melihatnya secara keseluruhan. Bukan Cuma hasilnya, melainkan juga latar belakang dan konteks di balik penelitian tersebut.

Bukan berprasangka bahwa peneliti melakukan manipulasi, melainkan memaklumi kenyataan bahwa fenomena sosial tidak terjadi dalam suatu ruang hampa melainkan dalam constrain-constrain yang nyata. Dalam hal ini, constrain tersebut adalah sebuah bisnis raksasa yang melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional (bisnis advertising).

Dalam penelitian tersebut, kita tidak mendapati kontra sebagai pembanding. Bagaimana dengan iklan non-award-winning? Sejauh mana perbedaan efektivitas iklan yang award winning dengan yang tidak. Ini poin kedua. Comprehensiveness.

Poin ketiga, berkaitan dengan publisitas sampingan. Iklan yang award-winning mendapat publisitas sampingan dari liputan seputar kemenangannya. Mengapa saya mengkategorikan ini sebagai publisitas sampingan? Karena ia bukan sesuatu yang direncanakan dalam strategi media placement dari pemilik merk dan konsultannya. Ia berada di luar konteks pemasaran merk yang diiklankan. Karena ia bukan sesuatu yang dapat direncanakan dengan pasti. Kita tidak bisa memastikan suatu iklan akan menang award lalu diliput oleh sekian majalah kreatif dan pemasaran. Kalaupun ia memang diliput, sifatnya insidental. Dan media yang mempublikasikannya belum tentu sesuai dengan segmentasi khalayak yang dituju oleh iklan tersebut. Akankah kita di seluruh penjuru Indonesia tahu Kopi Blandongan seandainya iklannya tidak menang award dan diliput media? Dan, apakah liputan tersebut membuat kita —orang-orang iklan dan media dan pemasaran, datang ke Jogja untuk mencoba kopi tersebut?

Poin ke-empat berkaitan dengan literasi dan konteks budaya. Jika dicermati dengan seksama, iklan-iklan yang award-winning berasal dari negara-negara dengan tingkat apresiasi dan literasi yang tinggi. Orang-orang yang kreatifitasnya award-winning, berasal dari negara seperti ini, dan masyarakat yang apresiatif pun, berasal dari negara seperti ini. Iklan adalah komunikasi, yang efektivitasnya tergantung sejuah mana kesamaan FOE dan FOR dari para komunikator dan komunikan. Sekali lagi, fenomena sosial terjadi dalam ruang yang tidak hampa, melainkan sarat nilai budaya dan konteks sosial.

Poin terakhir yang kepikiran sama saya sekarang adalah budget dan resources. Iklan yang kreatif dan award winning itu tidak murah. Mungkin eksekusinya bisa sederhana dan murah, tapi aktor intelektualnya tentu tidak murah. Pernyataan ini mungkin bisa disanggah tapi kenyataannya, perusahaan periklanan besar dan terus membesarlah yang memenangkan award.

Iklan yang dihasilkan dengan biaya yang tidak murah itu tentu tidak berdiri sendiri. Iklan yang award winning juga biasanya didukung oleh resources lain. Biaya placementnya, misalnya. Iklan-iklan yang bercerita panjang lebar, memakan slot yang lebih banyak dan menyedot budget yang lebih besar.
Jangan-jangan kesuksesan iklan award-winning dalam mendongkrak penjualan, bukan disebabkan oleh kreatifitas dan inovasinya, melainkan karena iklan tersebut memang ditunjang oleh budget placement yang besar pula.

Dan bukankah budget yang besar merupakan indikasi adanya resources-resources yang lebih besar? Jaringan distribusi, kemampuan menekan harga, misalnya. Jadi iklan tidak berdiri sendiri. Bukan hanya soal RoI (Return on Investment) dalam kegiatan advertisingnya saja.

Kelima poin ini bukan berarti saya anti terhadap iklan yang kreatif. Saya hanya mengatakan bahwa, advertising adalah industri yang tidak berdiri sendiri, dan kreativitas bukan segalanya. Kreativitas adalah penting ketika ia telah menjadi tuntutan industri, dalam suatu iklim industri yang sehat, di mana masyarakat memiliki literasi dan apresiasi yang tinggi. Dalam kondisi inilah media massa menjadi sedemikian cluttered dan persaingan telah sedemikian keras, sehingga kita membutuhkan iklan-iklan yang outstandjing!

1 comment:

g-g said...

Well thought! blognya lumayan berisi, cuma resikonya jadi sedikit "berat" :) keep up the good work, bro..