Friday, September 22, 2006

Batasan SES 2006 Versi Nielsen

Sambil ngerjain tugas PerMed (pas bagian menentukan demografi target segmen), saya jadi inget sesuatu. Batasan SES Nielsen tahun 2006 udah diganti:

A1= Rp 3 ooo ooo ke atas
A2= Rp 2000 000 - 3000 000
B= Rp 1500 000 - 2000 000
C1= Rp 1000 000 - 1500 000
C2= Rp 700 000 - 1000 000
D= Rp 500 000 - 700 000
E= Rp 500 000 ke bawah

Besarnya SES dihitung dari pengeluaran rutin rumahtangga per bulan.
Perubahan batasan SES, dipengaruhi oleh inflasi dan makroekonomi lainnya.

Melihat daftar ini, kita bisa bayangkan betapa masih ada rakyat Indonesia yang keluarganya hanya bisa menyisihkan kurang dari 500 ribu per bulan untuk kebutuhan rutin mereka. Kontrak rumah, air, listrik, belanja makanan, minyak tanah, sekolah anak-anak..

Memasuki bulan puasa, hal-hal kecil seperti ini semoga bisa jadi tambahan semangat kita beribadah.
Berempati untuk merasakan pedihnya lapar.
Memperbanyak sedekah.
Mensyukuri kemudahan dan kelapangan yang kita nikmati hingga saat ini.

Semoga bermanfaat.

Tuesday, September 19, 2006

Critical Discourse Analysis

Tulisan ini adalah catatan saya seputar CDA, dari workshop Metode Penelitian Komunikasi bersama Pak Jalaluddin Rakhmat, yang diselenggarakan oleh Jurusan Manajemen Komunikasi Fikom Unpad, yang diadakan tiap Rabu di Gd.I Lt.I.


Critical Discourse Analysis adalah sebuah metode analisis yang melihat teks, konteks dan pemaknaan, sebagai sebuah diskursus yang berkelanjutan, sambil membongkar dominasi dan hegemoni yang terjadi dalam proses diskursus tersebut.

Tujuan CDA adalah membongkar bagaimana suatu konsepsi tentang dunia, menjadi sesuatu yang fixed, dan dilestarikan sebagai kebenaran.

Critical Discourse Analyisis diperkenalkan oleh Van Dijk, namun metode ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tradisi-tradisi yang berkembang sebelumnya, antara lain; postmodernisme, linguistik, strukturalisme dan post-strukturalisme.

Postmodernisme adalah studi yang menyangkal narasi-narasi besar tentang kehidupan, orientasi dan nilai-nilai yang sifatnya homogen, linear dan akumulatif.

Strukturalisme berawal dari studi kebahasaan. Bagaimana hubungan antara bahasa makna dan realita, membentuk suatu struktur. Post-strukturalisme melihat bahwa proses pembahasaan dan pemaknaan itu sebagai sebuah proses yang terbuka dan berkelanjutan, ketimbang sebagai sebuah struktur yang statis.

Diskursus pemaknaan dalam masyarakat, amat terbuka dan rentan terhadap dominasi dan ketimpangan. CDA mengambil gagasan ini dari neo-marxisme, di mana masyarakat dipandang sebagai struktur kelas-kelas yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh. Kelas yang dominan akan mendominasi pula pemaknaan, serta memonopoli pemaknaan, hingga lebih jauh, pandangan terhadap dunia, nilai-nilai, dan norma.

CDA terutama diterapkan pada teks di media massa. Teks dan pemaknaannya, tidak bisa dilepaskan dari hubungan kekuasaan dan kapitalisme. CDA digunakan secara luas oleh feminis, dalam upaya membongkar dominasi gender di masyarakat.


Dalam memberi materi workshop, Pak Jalal tetap memandang dirinya sebagai ustadz, sehingga beliau selalu menyelipkan muatan-muatan keislaman sesuai keyakinannya yang kontraversial haha..

Saturday, September 09, 2006

Portal Literasi Media

Sebagai tuntutan kurikulum di semester 7, Outstandjing sekarang dilengkapi dengan mini-portal menuju resources seputar Media Literacy. Mini-portal itu sebenernya cuma daftar kecil link yang menuju ke pencarian dasar seputar MedLit. Itu tuh, di sebelah kanan kamu. Postingan saya juga secara bertahap akan semakin diwarnai topik ini.

Bukan buat kepentingan akademik kita aja, Media Literacy adalah untuk kepentingan semua orang, agar kita menjadi penikmat media massa yang aware, dan mampu menempatkan media dalam kehidupan kita secara proporsional.

Untuk tuhan, bangsa, dan almamater, kata anak ITB mah.

Untuk teman-teman mankom 03, mari kita berbagi temuan dan mari kita diskusi. Saya jarang bgt YM, jadi kirim-kiriman aja via e-mail, gimana? Kamu juga bisa kirim pertanyaan-pertanyaan, nanti kita bikin jadi FAQ seputar Media Literacy. Kan kedengerannya keren tuh, FAQ.

Semoga lancar dan enjoy, dan kita bisa memetik hikmah sebanyak-banyaknya. Buat yang lagi jobtraining sambil kuliah- atau kesibukan lainnya, semoga bisa bagi waktu dengan asik. Kapanpun, insya Allah saya mah hayu brangkat lah. Apakah itu Lembang, Ciater, Ciwidey, karaoke, atau sekadar nongkrong bareng. Seperti kata Herbert Marcuse, work and play lah. Hahah..
Cheers!

Friday, September 08, 2006

Ketika Instansi Butuh Jasa Periklanan

Pada jaman OrBa, pemerintah dan instansi-instansinya mudah saja membentuk opini publik dan membuat pengumuman. Karena kharisma pemerintah yang kuat di mata masyarakat, dan karena pengaruhnya sangat kuat di media-media massa saat itu.

Kalau menggunakan analogi Plato, saat itu kita hidup di gua yang gelap, sementara pemerintah adalah satu-satunya Dalang yang mengendalikan wayang sekaligus sumber cahayanya. Kita melihat cerita wayang tersebut sebagai satu-satunya realitas, narasi kehidupan.

Jadi, saat itu pemerintah tak perlu repot dalam mengumumkan sesuatu. Gampang saja, semua faktor produksi dalam industri media, memang ’dipegang’.

Belum lagi, dalam proyek-proyek yang butuh outsourcing, instansi tinggal tunjuk saja perusahaan rekanannya. Tidak pakai tender.

Sekarang setelah reformasi, demokratisasi, dan desentralisasi, baru deh.

Sementara tuntutan untuk keterbukaan dan akuntabilitas semakin tinggi, ternyata paradigma lama belum sepenuhnya ditinggalkan.

Kita lihat di koran (yang telah ditentukan), bagaimana instansi dari berbagai daerah memasang iklan. Mereka mengadakan tender-tender pengadaan jasa maupun barang yang bidangnya beragam. Banyaknya bidang konstruksi. Tapi ada juga bidang komunikasi dan pemasaran. Advertising.

Masalahnya adalah, tender-tender tersebut sepertinya diadakan untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas saja. Tidak seperti pitching yang mengadu kreativitas konsep, mekanisme tender yang diadakan pemerintah lebih menekankan pada persyaratan administratif.

Kita bisa mengerti ini, bahwa syarat-syarat administratif dan ajuan harga, lebih mudah dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya ketimbang konsep.

Jauh lebih mudah membuat laporan tentang terpilihnya agensi besar —yang surat-suratnya lengkap dan gedungnya milik sendiri, dan SDMnya S2 semua— dan memberi harganya bagus.... ketimbang melaporkan terpilihnya sebuah konsep ILM kreatif yang muncul dari agensi yang entah-namanya-apa. Apalagi kalo penawaran harganya ngepas sama pagu.

Instansi-instansi itu memang diperiksa oleh Inspektorat dan BPK, dari sisi administratif. Dan administratif itulah yang dijunjung.

Mereka lupa bahwa ILM, dalam banyak sisi, lebih kompleks dari iklan komersial karena tujuannya mengubah perilaku masyarakat.

APBN, uang rakyat itu harus dipertanggungjawabkan, dengan mengalokasikan dengan sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat. Administrasi dan birokrasi hanya mekanisme saja untuk mencapai tujuan tersebut.

(tulisan ini nantinya mau disambungin sama Habermas, kebayang ga? sama saya mah belum, malah..)