Tuesday, August 29, 2006

Menjadi Peserta Lomba Kreatif

Udah dua kali ikutan ajang kreatif. Semuanya ajang untuk mahasiswa. Semua bersama partner saya Egus (Bagus W. Isattama)

Ad Student Pinasthikha Ad Fest 2006Saya dan Egus jadi finalis lewat karya ini (btw, ko warnanya jadi gini yah). Di Jogja selama seminggu. Dengan keramahan dan dedikasi para panitia, dan serunya para peserta lain di sana, dan gilanya Pak Djito Kasilo, pengalaman kami di Jogja bukan tentang berlomba dalam sebuah ajang kreatif lagi, melainkan lebih dari itu. Sebuah awal persahabatan.


BG Award Citra Pariwara 2006Konsepnya, bahwa mimpi itu tidak hanya terdiri dari harapan indah tapi ada unsur ketakutan dan kengerian juga dalam sebuah mimpi.

Sayang, juri kurang melihat keunggulan karya ini (Hahaha) Saya dan Egus pun gagal menjadi finalis. Kali ini.

Polemik Abadi Itu

Kata Pak Totot (http://pakde.com), ada sebuah polemik abadi dalam periklanan. Apakah iklan yang kreatif (iklan award-winning) itu memang mencapai tujuannya, menjadi iklan yang menjual?

Maka kemudian Pak Totot mengutip sebuah penelitian:

Riset 2002, yang dilakukan oleh Leo Burnett Worldwide, melibatkan 250 iklan (televisi) yang paling sering memenangkan award di berbagai festival periklanan di seluruh dunia selama 1999, 2000, dan 2001. Kepada biro iklan pembuat iklan tersebut diajukan lima pertanyaan sederhana. Pertama, apa tujuan iklan itu? Kedua, menurut pendapat biro iklan dan klien, apakah tujuan tersebut berhasil dicapai? Ketiga, jika “ya”, berikan penjelasan rinci. Keempat, jika “tidak”, apa penyebabnya? Dan kelima, berikan rincian award yang diraih oleh iklan tersebut.

125 biro iklan dari 26 negara -- mewakili 172 iklan pemenang award -- memberikan jawaban. Hasilnya, 82% berhasil mencapai tujuan yang disasar. Dari jumlah itu, 65% sukses mencapai target penjualan dan 35% sukses meraih tujuan lain ( awareness, perubahan citra, dan sebagainya). Semua didukung dengan data hasil penjualan dan bukti lain seperti tracking studies, dan lain-lain.

Dan para kreatif, dengan penuh semangat, menemukan pembenaran. Bahwa apa yang mereka lakukan memang benar-benar bermanfaat bagi pemasar.

“Buatlah iklan berbobot award winning, karena iklan jenis itu punya peluang 82% mencapai tujuan, termasuk sales,” kata Enin Supriyanto, Creative Director Satucitra Advertising. Untuk mereka (biro iklan dan klien) yang menginginkan keduanya sekaligus (sales dan award), lanjutnya, pilihan yang tersedia sebenarnya jadi tinggal satu: buatlah iklan sebagus-bagusnya!

Gandhi Suryoto, Executive Creative Director biro iklan Dentsu, segendang sepenarian. “82% business success menurut riset itu, kurang memberikan bukti apa lagi?” kata praktisi periklanan langganan pemenang award ini. “Buat saya tetap, advertising adalah business of creativity. Saya setuju satu-satunya agenda praktisi periklanan saat ini adalah: buatlah iklan sebagus-bagusnya! ”

Kemudian saya mencoba mengkritisi polemik ini. Dari sudut yang mungkin terlewatkan.

Pertama, penelitian itu dilakukan dari satu pihak (orang kreatif), di mana ada tendensi, point of view yang dimiliki oleh peneliti. Isunya adalah netralitas.

Dalam kepentingan dan sudut pandang, seorang peneliti akan mengesampingkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang menjadi kepentingannya. Minimal, ada biasnya lah. Independensi dan netralitas. Ini poin pertama. Karena itu kita harus melihatnya secara keseluruhan. Bukan Cuma hasilnya, melainkan juga latar belakang dan konteks di balik penelitian tersebut.

Bukan berprasangka bahwa peneliti melakukan manipulasi, melainkan memaklumi kenyataan bahwa fenomena sosial tidak terjadi dalam suatu ruang hampa melainkan dalam constrain-constrain yang nyata. Dalam hal ini, constrain tersebut adalah sebuah bisnis raksasa yang melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional (bisnis advertising).

Dalam penelitian tersebut, kita tidak mendapati kontra sebagai pembanding. Bagaimana dengan iklan non-award-winning? Sejauh mana perbedaan efektivitas iklan yang award winning dengan yang tidak. Ini poin kedua. Comprehensiveness.

Poin ketiga, berkaitan dengan publisitas sampingan. Iklan yang award-winning mendapat publisitas sampingan dari liputan seputar kemenangannya. Mengapa saya mengkategorikan ini sebagai publisitas sampingan? Karena ia bukan sesuatu yang direncanakan dalam strategi media placement dari pemilik merk dan konsultannya. Ia berada di luar konteks pemasaran merk yang diiklankan. Karena ia bukan sesuatu yang dapat direncanakan dengan pasti. Kita tidak bisa memastikan suatu iklan akan menang award lalu diliput oleh sekian majalah kreatif dan pemasaran. Kalaupun ia memang diliput, sifatnya insidental. Dan media yang mempublikasikannya belum tentu sesuai dengan segmentasi khalayak yang dituju oleh iklan tersebut. Akankah kita di seluruh penjuru Indonesia tahu Kopi Blandongan seandainya iklannya tidak menang award dan diliput media? Dan, apakah liputan tersebut membuat kita —orang-orang iklan dan media dan pemasaran, datang ke Jogja untuk mencoba kopi tersebut?

Poin ke-empat berkaitan dengan literasi dan konteks budaya. Jika dicermati dengan seksama, iklan-iklan yang award-winning berasal dari negara-negara dengan tingkat apresiasi dan literasi yang tinggi. Orang-orang yang kreatifitasnya award-winning, berasal dari negara seperti ini, dan masyarakat yang apresiatif pun, berasal dari negara seperti ini. Iklan adalah komunikasi, yang efektivitasnya tergantung sejuah mana kesamaan FOE dan FOR dari para komunikator dan komunikan. Sekali lagi, fenomena sosial terjadi dalam ruang yang tidak hampa, melainkan sarat nilai budaya dan konteks sosial.

Poin terakhir yang kepikiran sama saya sekarang adalah budget dan resources. Iklan yang kreatif dan award winning itu tidak murah. Mungkin eksekusinya bisa sederhana dan murah, tapi aktor intelektualnya tentu tidak murah. Pernyataan ini mungkin bisa disanggah tapi kenyataannya, perusahaan periklanan besar dan terus membesarlah yang memenangkan award.

Iklan yang dihasilkan dengan biaya yang tidak murah itu tentu tidak berdiri sendiri. Iklan yang award winning juga biasanya didukung oleh resources lain. Biaya placementnya, misalnya. Iklan-iklan yang bercerita panjang lebar, memakan slot yang lebih banyak dan menyedot budget yang lebih besar.
Jangan-jangan kesuksesan iklan award-winning dalam mendongkrak penjualan, bukan disebabkan oleh kreatifitas dan inovasinya, melainkan karena iklan tersebut memang ditunjang oleh budget placement yang besar pula.

Dan bukankah budget yang besar merupakan indikasi adanya resources-resources yang lebih besar? Jaringan distribusi, kemampuan menekan harga, misalnya. Jadi iklan tidak berdiri sendiri. Bukan hanya soal RoI (Return on Investment) dalam kegiatan advertisingnya saja.

Kelima poin ini bukan berarti saya anti terhadap iklan yang kreatif. Saya hanya mengatakan bahwa, advertising adalah industri yang tidak berdiri sendiri, dan kreativitas bukan segalanya. Kreativitas adalah penting ketika ia telah menjadi tuntutan industri, dalam suatu iklim industri yang sehat, di mana masyarakat memiliki literasi dan apresiasi yang tinggi. Dalam kondisi inilah media massa menjadi sedemikian cluttered dan persaingan telah sedemikian keras, sehingga kita membutuhkan iklan-iklan yang outstandjing!

Monday, August 28, 2006

Media Literacy

Media Literacy adalah kemampuan seseorang untuk dapat menangkap kandungan media tanpa terjebak dalam kepolosan. Melek dan aware, jadi tidak polos dan lugu dan naif dalam mengkonsumsi dan menggunakan media massa.


Asumsi Dasar Media Literacy yang saya contek dari blog tetangga:

1. All media messages are "constructed."
2. Each medium has different characteristics, strengths, and a unique "language" of construction.
3. Different people interpret the same media message in different ways.
4. Media messages are produced for particular purposes, including profit, persuasion, education, and artistic expression.
5. Media have embedded values and points of view.

Mengapa tidak diterjemahkan? Karena bahasa indonesia saya tidak sebagus itu :)

Rektorat Dan Mahasiswa



Kejadian di Mataram membuat kita marah. Seorang mahasiswa tewas dan beberapa luka-luka oleh preman yang direkrut Rektorat, dan Yayasan Ikip Mataram. Kita bisa lihat di TV, bagaimana preman-preman itu menghunus pisau, memukul, mengamuk, menusuk, di depan kamera! Kejadiannya dipicu oleh protes mahasiswa terhadap penggantian Rektor, serta direkrutnya preman-preman untuk melindungi rektor yang baru ini.

Saya ucapkan belasungkawa, semoga amal ibadah mahasiswa itu diterima Allah. Semoga teman-temannya yang lain tidak berhenti berjuang, Semoga Yayasan Ikip Mataram mendapat balasan setimpal.

Kemudian, kejadian di atas membuat saya berpikir lagi tentang hubungan Rektorat dengan Mahasiswa, di kampus saya sendiri. Di Unpad.

Kebetulan di Unpad juga pemilihan rektor baru.

Rektorat, penyelenggara layanan pendidikan. Mahasiswa, pengguna layanan pendidikan.

Ketika mahasiswa berusaha mengkritisi penyelenggaraan pendidikan di kampusnya, seringkali mereka terjebak pada isu-isu yang sama: Transparansi Dana, Partisipasi Mahasiswa, Fasilitas, Dana-dana-dana.

Mungkin isu semacam itu masih populer dan strategis untuk mendapat dukungan teman-teman sebanyak-banyaknya, tapi harus kita sadari bahwa isu-isu seputar dana dan fasilitas itu tidak fundamental.

Fundamen dari insitusi pendidikan adalah penyelenggaraan pendidikan. Mereka, para birokrat kampus sebagai penyedia jasa pendidikan, dan kita yang mendapat jasa tersebut.

Dana pendidikan tidak dibayar sepenuhnya oleh mahasiswa, apalagi di PTN. Maka sebenarnya yang berhak menuntut kepada para Birokrat Kampus, Penyelenggara Pendidikan itu bukan hanya kita sebagai mahasiswa, melainkan seluruh stakeholder pendidikan yang meliputi para pembayar pajak, masyarakat, dunia usaha, industri, semua orang. Karena penyelenggaraan dibayar oleh kita semua warga negara indonesia, melalui APBN, hingga cost-cost yang lain misalnya social cost.

Mahasiswa dan Penyelenggara Pendidikan harus bekerja sama dalam kegiatan belajar-mengajar, demi menghasilkan generasi muda yang cerdas dan mencerdaskan. Untuk tujuan inilah, masyarakat yang lain memberikan kesempatan belajar di perguruan tinggi pada kita. Untuk tujuan inilah, hegara dan masyarakat ’membuka jalan’. Karena tidak hanya negara dan orangtua murid yang memberi kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan, melainkan seluruh masyarakat. Naiknya harga BBM dirasakan semua orang, tapi kan mahasiswalah yang mendapat Kompensasinya. Itu baru satu contoh.

Kembali, penyelenggaraan pendidikan tinggi harus dipertanggungjawabkan bukan kepada mahasiswa, melainkan kepada semua stakeholder, masyarakat.

Tanggung jawab mahasiswa adalah menjalani kuliah dengan sebaik-baiknya, memastikan bahwa ia mendapat apa yang menjadi haknya (yang telah diberi oleh masyarakat yang lain), serta lulus dan menggunakan pengetahuannya untuk kepentingan orang banyak.

Tanggung jawab penyelenggara pendidikan adalah memberi layanan pendidikan, sesuai standar kompetensi.

Jadi tuntutannya bukan fasilitas dan transparansi dana (!), melainkan layanan pendidikan.

Ilustrasinya begini. Ada SPBU yang toiletnya bersih ada SPBU yang toiletnya kotor. Tapi apakah konsumen menuntut toilet yang bersih dari sebuah SPBU? Tidak. Tuntutan yang paling relevan dari seorang konsumen SPBU adalah layanan pengisian bahan bakar yang tepat takarannya, bersih, dan cepat, dan mengembalikan uang recehan. Itu tuntutan untuk sebuah SPBU, sementara toilet yang bersih atau musola, atau lap kaca—misalnya, hanya merupakan added value sebagai penunjang layanan inti.

Sama dengan di perguruan tinggi. Pertama-tama mereka menyediakan jasa pendidikan. Manifestasinya berupa kebijakan, program, hingga pelaksanaan pendidikan.

Misalnya, Fikom bertugas menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam bidang komunikasi.

Pertama, mereka harus merumuskan standar kompetensi seperti apa yang mereka tawarkan. Standar kompetensi yang dijanjikan ini, sederhananya dalam bentuk Jurusan dan Gelar (PAKT, D3, S1, Broadcasting, S.Sos dalam bidang PR).

Kedua, untuk mencapai kompetensi ini mereka merumuskan program, kurikulum, materi.

Ketiga, untuk mencapai kompetensi tersebut, melalui program yang telah dibuat, mungkin membutuhkan berbagai penunjang. Misalnya tenaga pengajar, ruang kelas, lab, kegiatan praktikum, toilet, kantin. Semua ini kemudian menyusul belakangan. Pengadaan setiap penunjuang ini, harus jelas apa relevansi dan urgensinya dengan tujuan utama pendidikan tinggi itu sendiri (penyelenggaraan pendidikan).

Jadi, ketika kita semua terjebak pada transparansi dana dan fasilitas, kita semua terjebak pada hal yang tidak fundamanetal dan melupakan inti dari semua ini.

Yang pertama kita tuntut seharusnya proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Apa yang telah diberikan oleh PTN untuk mencerdaskan mahasiswa. Bagimana kontrol dan pengembangan mutu pendidikan. Itu.

Bagaimana mahasiswa dapat mengajukan tuntutan kepada perguruan tinggi, kalau mereka sendiri tidak tahu apa yang seharusnya mereka tuntut. Layanan pendidikan seperti apa yang seharusnya mereka harapkan. Program pendidikan sepertai apa yang seharusnya mereka harapkan. Hingga dibreakdown ke hal terkecil. Tapi berangkat dari peta, gambar besarnya dulu. Jadi ngga sporadis dan reaktif.

Berarti yang urgen adalah tersedianya Cetak Biru Program Pendidikan.
Gambar/skema/diagram ini harus dirumuskan dengan melibatkan semua stakeholder mulai dari akademisi hingga kalangan industri dan dunia usaha, lalu hasilnya harus dapat diakses semua orang terutama mahasiswa dan orangtua dan masyarakat.

Jika semua orang tahu seperti apa Ideal State (cetak biru tsb) semua orang dapat ikut mengontrol, apakah benar cetak biru itu yang diusung. Apakah memang seluruh kegiatan di dalam perguruan tinggi itu memang ditujukan untuk mewujudkan cetak biru tersebut.

Karena itu, pertama yang paling penting komitmen semua pihak. Kedua, kordinasi dan sinergi. Ketiga, akses informasi. Keempat, saluran kontrol dan aspirasi. Kelima, mekanisme evaluasi. Kelima hal ini yang mungkin harus ada dalam setiap penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Cetak biru (the ideal state) yang saya maksud, bentuknya terdiri dari berbagai tahap dan tingkatan. Mulai dari yang paling general, tujuan pengajaran, silabus mata kuliah, hingga agenda kegiatan belajar mengajar. Semua inilah yang harus dapat diakses semua orang lalu diusung bersama-sama.

Kondisi ini masih jauh untuk dapat menjadi kenyataan, ketika banyak mahasiswa yang tidak hapal apa saja matakuliah yang diambilnya pada suatu semester, ketika dosen gelagapan ketika dimintai silabus kuliahnya.

Tidak heran jika ada dosen yang mengulang-ulang materi kuliah setiap minggu, dan tidak ada mahasiswa yang memprotesnya.

Ketika di tengah jalan kita tidak tahu arah, kita masih bisa bertanya.
Tapi jika di tengah jalan kita lupa sama tujuan kita sendiri, mau bertanya sama siapa?

Thursday, August 24, 2006

Tentang Ospek (loh, bukan tentang media dan advertising lagi?)

Mahasiswa fikom unpad telah begitu banyak, seiring tren yang berkembang dalam industri yang berhubungan dengan komunikasi, dan kebutuhan fakultas akibat BHMN.

Berapa ribu mahasiswa fikom? Angka pastinya saya tidak tahu. Dan bukan tentang angkanya nih, sebenarnya. Terasa dari sumpeknya suasana di kampus pas prime time jam kuliah. Terasa dari susahnya mencari ruangan kalo jadwal kuliah diganti. Terasa dari banyaknya muka-muka asing yang ditemui di kampus.. Tentu ini salah satu dasar pemikiran yang membuat sebagian kita berpikir perlunya ospek. “demi persatuan” “kekompakan”, “mengenal kampus”, “saling kenal”, dsb..

Saya tidak tahu di mana hasil ospeknya. Ternyata kita semua masih belum saling kenal satu sama lain, ternyata kita masih sering kebingungan dalam mengisi KRS, ternyata kita masih belum tahu nama dan muka setiap dosen, ternyata masih ada yang bingung parkir, ternyata tidak banyak yang didapat dari ospek.

Karena gagasan-gagasan ideal dalam ospek fakultas, sebenarnya tidak realistis lagi. Tidak relevan pula. Inilah yang ingin saya sampaikan. Bahwa dalam kerumunan yang terlalu crowded ini, gagasan tentang persatuan, keakraban, dsb itu tidak relevan. Bahwa untuk orientasi mahasiswa terhadap lingkungan kampus, semua akan belajar sendiri. Dan proses belajar itu terus dijalanai sampai lulus nanti. Kita terus mengubah dan menyesuaikan orientasi kita terhadap kampus ini. Ada atau tidak ada ospek.

Dalam kerumunan di kantin tadi pagi, saya membayangkan betapa sebenarnya kita ini seperti segerombolan manusia dalam sebuah angkot. Secara fisik kita begitu dekat, saling bersentuhan malah. Tapi kita tidak tertarik untuk saling menyapa, atau sekadar tersenyum. Kecuali terhadap beberapa teman yang kebetulan bertemu di angkot tersebut. Kita berbagi ruang dalam angkot tersebut. Tapi masing-masing datang dari tempat yang berbeda, dan dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Kebetulan saja sekarang lagi ada di tempat yang sama. Sekadar singgah, sekadar lewat. Karena toh, kita semua tahu ini menuju ke mana. Kita semua tahu nanti akan turun di mana, sewaktu-waktu, cepat atau lambat. Angkot itu, seperti kuliah, udah ada rutenya, udah ada sopirnya. Tinggal kita mau turun di mana.

Maka, sekelompok orang yang bergabung dan mengatasnamakan seluruh penumpang angkot, tidak akan terlalu menarik untuk penumpang yang lain… Buat apa lah…
Toh mereka tidak akan bisa mengubah rute angkot tersebut, misalnya. Tidak ada cukup legitimasi dan otoritas untuk melakukan sesuatu yang signifikan. Ini saya bicara analogi tentang Lembaga Kemahasiswaan.

Karena hubungan antara suatu rejim pengurus Lembaga Kemahasiswaan (BEM), dengan ospek yang diadakan pada tahun tsb ternyata sangat erat. Sinyalemennya ke arah sana. Entah sekadar pembuktian achievement lah, entah bagian dari program regenerasi lah, entah mau doktrin apa lah.. Kental sekali pengaruh rejim nya. Kiri-kanan, klasik sekali….

Pada akhirnya, saya pikir kalopun toh keukeuh mau bikin ospek tingkat fakultas, silahkan saja. Asal jangan ganggu kuliah, asal jangan pake urat, asal jangan lupa solat haha..

Toh, buat isi waktu aja. Iseng-iseng kan?
(btw, dulu sebagai MaBa, saya ikut sampai Kiara Payung loh)

Kepada Siapa Pembuat Iklan Bertanggung Jawab?

Saya sering membayangkan. Sekumpulan orang kreatif sedang brainstorming, ketawa ketawa sambil nunggu delivery junkfood mereka datang. Sementara itu para Manajer Pemasarannya Klien mencibir, "Lihat mereka, berandalan urakan yang sombong, making fun of our precious budget"

Saya ingat sebuah tulisan orang bule di Cakram edisi lama yang sampulnya cewe keriting makan Indomie. Tulisan itu tentang model Fee perusahaan Iklan. Dia merekomendasikan sebuah model Bagi Hasil, di mana pekerjaan Agency diukur dari pencapaian yang diharapkan. Sebuah model Kemitraan.

Kepada siapa pembuat iklan harus mempertanggungjawabkan karya mereka?
(ini mengingatkan kita pada Sembilan Elemen Jurnalisme, Kovach&Rosenthiel)

Kepada orang Account?
Kepada Pak Bos yang menggaji?
Kepada keluarga dan pacar?
Kepada klien?
Kepada sekelompok Watchdog yang berpedoman pada sebuah Etika Periklanan?

Kita semua, dengan serempak mungkin akan mengatakan bahwa orang iklan bertanggungjawab terutama kepada masyarakat. Kepada merekalah pesan berupa iklan tersebut ditujukan. Dan merekalah yang diharapkan akan memberi respon terhadap pesan tersebut. Namun masalahnya bukan hanya tentang kepada siapa, tetapi bagaimana cara mempertanggungjawabkan dan mengevaluasi karya iklan tersebut.

Tapi kemudian kita akan terjebak dalam teks (Etika Periklanan?). Dilarang mencantumkan kalimat superlatif: ter-, paling, dsb. Padahal sebuah karya tidak dapat dipahami sedemikian sederhana dan tekstual saja. Jadi bagaimana?

Tugas seorang pembuat iklan bukan hanya membujuk dan merayu, bukan pula membuat lucu-lucuan dari budget klien.Tugas seorang pembuat iklan adalah, membantu khalayak untuk menemukan relevansi antara sesuatu yang ditawarkan, dengan apa yang menjadi kebutuhan mereka.
And there you have it.

Definisi ini sudah mulai bisa dioperasionalisasikan, dalam rangka merumuskan metode evaluasi dan pertanggungjawaban. Sekaligus juga, definisi ini begitu rentan terhadap kritik. Maka silahkan disanggah. Terimakasih.

Dan untuk kita renungkan, seorang dosen saya pernah berkata:
"Suatu hari nanti kalian mungkin akan lulus dan segera menjadi buruh. Namun setidaknya saya berharap agar kalian tidak menjadi buruh-buruh yang naif, melainkan buruh yang dapat melihat The Big Picture atas apa yang sedang terjadi"

Dosen saya itu bukan sembarang Marxist. Dia adalah perempuan bergelar Doktor yang masih melajang. Dengan pesona intelektual.

Dan kita adalah buruh. Buruh berkerah. Buruh bermobil. Buruh dalam cubicle yang stylish, dengan akses wifi dan AC yang dingin di lantai sekian. Buruh dengan Kartu Hutang berwarna Silver atau Bening. Maka, mari kita menjadi buruh yang sadar. Buruh yang dapat melihat GambarBesar atas apa yang sedang terjadi. There's a lot more to think about.

Perspektif Habermas (Menuju Ruang Publik yang Ideal dan Masyarakat yang Komunikatif)


Habermas dan Peran Penting Ruang Publik
Semangat pencerahan yang melanda Eropa berkeyakinan bahwa akal manusia dapat mengatasi segala mitos dan penindasan yang dialami selama masa feodalisme. Mitos, kepercayan dan tahayul digantikan oleh akal yang rasional, ilmiah, terukur dan objektif. Segala kemampuan ini diinstrumentalisasikan manusia dalam rangka produksi yang efektif dan efisien.
Semangat kemampuan teknis dalam peradaban manusia ini, selain berhasil melepaskan manusia dari penindasan dan kungkungan tradisi, ternyata justru melahirkan bentuk penindasan baru, antara manusia dan manusia. Dalam rasio teknis ini, logika manusia tereduksi dalam kepentingan teknis semata, sehingga mengesampingkan kepentingan-kepentingan lain yang terdapat dalam masyarakat, beserta nilai-nilai kemanusiaan.
Masalah inilah yang berupaya dkritik oleh Mazhab Frankfurt. Adorno dan Horkheimer, serta Marcuse, melalui karya mereka masing-masing berupaya menunjukkan cacat-cacat yang terdapat dalam Semangat Pencerahan ini, yang terumuskan dalam nilai-nilai modernitas. Mereka semua sepakat bahwa modernitas, dengan rasio teknis-instrumentalnya telah membentuk totalitarianisme-administratif.
Apa yang disebut oleh Weber sebagai Zweckrationalitat, rasionalitas-bertujuan, dalam praktek kemasyarakatan akan mereduksi nilai-nilai kemanusiaan menjadi sekadar hubungan objektivisasi yang menyebabkan manusia saling menindas satu-sama lain.
Untuk semua kritik ini, Mazhab Frankfurt amat dipengaruhi oleh pemikiran Marxisme. Teori Kritis mengalami kebuntuan ketika ternyata, setiap bentuk antitesis akhirnya melahirkan sintesis kemapanan baru, yang juga memiliki potensi reduksi dan penindasan.Dalam wacana kritik-kritik terhadap modernitas, yang berujung pada kebuntuan inilah kemudian Habermas muncul. Seperti para pendahulunya di Mazhab Frankfurt, Habermas banyak dipengaruhi oleh Marxisme dalam menganalisa kondisi masyarakat secara tajam.Ada banyak terobosan (memasukan Mitologi Yunani? Menggunakan PsikoAnalisis Freud? dsb) yang ditawarkan dalam pemikiran Habermas untuk mengatasi kebuntuan-kebuntuan dalam kritik terhadap modernitas. Terobosan-terobosan itu –terutama dari konsep Rasio Komunikatif/Interaksi nya- menjadikan kritik Habermas lebih tajam tapi sekaligus komprehensif. Habermas mengurai konstelasi kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, menawarkan suatu bentuk masyarakat ideal, dalam kritik-kritiknya.
Berbeda dari para pendahulunya, Habermas tidak terpaku dalam sorotan terhadap kepentingan teknis semata. Menurut Habermas, masyarakat memiliki 3 jenis kepentingan yang masing-masing memiliki pendekatan dan rasionya masing-masing.Kepentingan Teknis, adalah kepentingan untuk menyediakan sumberdaya natural. Karena sifatnya yang sangat instrumental —dengan tugas yang konkret— kerja, pada dasarnya adalah kepentingan yang “teknis”.Kepentingan yang kedua adalah interaksi. Karena kerjasama sosial amat dibutuhkan untuk bertahan hidup, Habermas menamakannya kepentingan “praktis”. Ia mencakup kebutuhan-kebutuhan manusia untuk saling berkomunikasi beserta praktek-prakteknya.Kepentingan yang ketiga adalah kekuasaan. Tatanan sosial, secara alamiah cenderung pada distribusi kekuasaan, namun pada saat yang sama, kita juga memiliki kepentingan untuk membebaskan diri dari dominasi. Kekuasaan mengarah pada distorsi terhadap komunikasi, namun dengan menjadi sadar akan adanya ideologi-ideologi yang dominan di masyarakat, suatu kelompok kemudian dapat memberdayakan dirinya untuk mengubah keadaan. Maka, kepentingan kekuasaan adalah kepentingan yang “emansipatoris”.
Masyarakat selalu mengandung ketiga jenis kepentingan ini. Pertentangan antar kepentingan-kepentingan yang ada, hanya dapat diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional.Di sinilah Habermas memperkenalkan konsep Ruang Publik. Baginya, Ruang Publik adalah wahana di mana setiap kepentingan terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memliki akses yang sama untuk berpartisipasi, kemudian mereka terdorong untuk mendahulukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan maasalah-masalah yang mereka hadapi.Ruang Publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta Situasi Berbicara yang Ideal. Situasi yang ideal ini, adalah keadaan di mana klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional. Dalam situasi ideal ini, kebenaran tidak menjadi objek dari kepentingan tersembunyi dan permainan, melainkan muncul lewat argumentasi.
Ruang Publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara penguasa dan masyarakat. Kekuasaan, mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialog dalam Ruang Publik. Sementara masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa.Hanya melalui Ruang Publik inilah, dapat terwujud masyarakat yang dewasa dan bebas dari penindasan-penindasan dan menanggulangi krisis yang mereka hadapi.
Media Massa Sebagai Ruang Publik
Ruang Publik, dalam prakteknya dapat terwujud dalam berbagai kesempatan. Habermas menyoroti kemampuan pers atau media massa untuk menjadi sebuah Ruang Publik yang dapat menjalankan fungsinya.Media massa, dengan jangkauannya yang luas dan kandungan informatif yang dimilikinya, bersentuhan langsung dengan wilayah publik. Hanya saja, Habermas mewaspadai bahwa keberadaan media massa tidak terlepas dari kepentingan privat yang menyelenggarakannya. Kepentingan privat ini harus ditampilkan secara terbuka dan dikesampingkan di bawah kepentingan publik.

Visi Aing Tentang Aing

Saya sangat tertarik dengan segala hal yang berkaitan dengan media massa:
1. Bagaimana manusia berinteraksi dengan media massa (kajian kritis media)
Untuk mempelajari interaksi manusia dengan media massa, saya perlu belajar teori-teori mengenai media massa serta kemampuan riset sosial.

2. Bagaimana industrinya berjalan (ekonomi dan manajemen industri media)
Untuk mempelajari industri media, saya perlu mengikuti perkembangan dalam level makro dan memahaminya melalui analisis yang tajam.

3. Proses kreatif dalam penciptaan pesan (advertising)
Saya akan melatih kemampuan mengkonseptualisasi gagasan kreatif serta memelihara keterampilan dalam penggunaan alat-alat komunikasi.

Dengan berbekal kompetensi di atas, saya berharap dapat menjadi seorang periset yang menghayati lapangan, atau menjadi seorang industrialis yang kreatif, atau menjadi pengarah kreatif yang berwawasan.
Penelitian dan Pengajaran, Penyiaran dan Penerbitan, Pemasaran dan Periklanan, Penyuluhan dan Pemberdayaan..

Inilah bidang yang sedang Dibukakan bagi saya.
Insya Allah, saya mampu mengejar cita-cita ini,asalkan saya mau berusaha dengan disiplin, sabar, bijak dan cermat, serta selalu menjaga niat yang ikhlas.

Saya akan menghormati orang lain dengan adil, tegas dengan tetap menjaga perasaan, dan semoga memberi arti dalam kehidupan mereka. Bagi orang-orang yang dekat, semoga saya dapat membalas segala kebaikan mereka serta kami senantiasa dilimpahi kasih sayang. Bagi orang-orang yang jauh, semoga saya dapat memberi kesan yang baik dan menjadi lebih dekat.

Saya bersyukur alhamdulillah dengan segala yang telah Allah titipkan kepada saya. Saya memohon ampun atas segala kesalahan, dan belajar untuk menjadi lebih baik.

Ya Allah, terangilah jalanku, ringankanlah langkahku, menuju akhir mulia

Postingan Perdana


Sementara blog (dan sebelumnya sudah ada geocities) telah lama ada, perlu waktu sedemikian lama juga sampai akhirnya saya mengibarkan blog saya sendiri.

Blog adalah sesuatu yang sangat individual, dan bahkan hingga kini saya masih belum benar-benar tahu sosok seperti apa yang akan saya tampilkan di blog, untuk dikenali oleh mereka yang mengunjunginya.

Lalu inilah saya. Imam N Moh Ali Wiratmadja. Seorang mahasiswa di jurusan Manajemen Komunikasi Fikom Unpad, yang mengambil konsentrasi Manajemen Media Massa angkatan 2003.Saya juga seorang pegawai di Enkape Comm, sebuah agensi periklanan di Bandung yang keukeuh menawarkan IMC.


Blog ini akan berisi cerita dan pikiran saya, khususnya tentang bidang dan minat saya. Blog ini saya canangkan untuk tidak menjadi sesuatu yang terlalu personal atau social, melainkan lebih profesional atau sedikit nyakola lah. Toh kita juga punya Friendster kan.

Melalui blog ini saya ingin melatih diri supaya lebih serius dalam menekuni sesuatu. Dan ’sesuatu’ yang sedang saya tekuni sekarang adalah bidang Manajemen Komunikasi, khususnya Media dan Advertising. Pubdok seperti blog ini penting, agar kita bisa saling berbagi. Agar tidak hilang dalam geraknya waktu.

Terimakasih kalo kamu menyempatkan diri untuk berkunjung. Saya berharap kita bisa saling berbagi, saling mengingatkan, atau saling menyapa lah.

So here it is, postingan pertama di Outstandjing!
Let’s Share!