Monday, August 28, 2006

Rektorat Dan Mahasiswa



Kejadian di Mataram membuat kita marah. Seorang mahasiswa tewas dan beberapa luka-luka oleh preman yang direkrut Rektorat, dan Yayasan Ikip Mataram. Kita bisa lihat di TV, bagaimana preman-preman itu menghunus pisau, memukul, mengamuk, menusuk, di depan kamera! Kejadiannya dipicu oleh protes mahasiswa terhadap penggantian Rektor, serta direkrutnya preman-preman untuk melindungi rektor yang baru ini.

Saya ucapkan belasungkawa, semoga amal ibadah mahasiswa itu diterima Allah. Semoga teman-temannya yang lain tidak berhenti berjuang, Semoga Yayasan Ikip Mataram mendapat balasan setimpal.

Kemudian, kejadian di atas membuat saya berpikir lagi tentang hubungan Rektorat dengan Mahasiswa, di kampus saya sendiri. Di Unpad.

Kebetulan di Unpad juga pemilihan rektor baru.

Rektorat, penyelenggara layanan pendidikan. Mahasiswa, pengguna layanan pendidikan.

Ketika mahasiswa berusaha mengkritisi penyelenggaraan pendidikan di kampusnya, seringkali mereka terjebak pada isu-isu yang sama: Transparansi Dana, Partisipasi Mahasiswa, Fasilitas, Dana-dana-dana.

Mungkin isu semacam itu masih populer dan strategis untuk mendapat dukungan teman-teman sebanyak-banyaknya, tapi harus kita sadari bahwa isu-isu seputar dana dan fasilitas itu tidak fundamental.

Fundamen dari insitusi pendidikan adalah penyelenggaraan pendidikan. Mereka, para birokrat kampus sebagai penyedia jasa pendidikan, dan kita yang mendapat jasa tersebut.

Dana pendidikan tidak dibayar sepenuhnya oleh mahasiswa, apalagi di PTN. Maka sebenarnya yang berhak menuntut kepada para Birokrat Kampus, Penyelenggara Pendidikan itu bukan hanya kita sebagai mahasiswa, melainkan seluruh stakeholder pendidikan yang meliputi para pembayar pajak, masyarakat, dunia usaha, industri, semua orang. Karena penyelenggaraan dibayar oleh kita semua warga negara indonesia, melalui APBN, hingga cost-cost yang lain misalnya social cost.

Mahasiswa dan Penyelenggara Pendidikan harus bekerja sama dalam kegiatan belajar-mengajar, demi menghasilkan generasi muda yang cerdas dan mencerdaskan. Untuk tujuan inilah, masyarakat yang lain memberikan kesempatan belajar di perguruan tinggi pada kita. Untuk tujuan inilah, hegara dan masyarakat ’membuka jalan’. Karena tidak hanya negara dan orangtua murid yang memberi kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan, melainkan seluruh masyarakat. Naiknya harga BBM dirasakan semua orang, tapi kan mahasiswalah yang mendapat Kompensasinya. Itu baru satu contoh.

Kembali, penyelenggaraan pendidikan tinggi harus dipertanggungjawabkan bukan kepada mahasiswa, melainkan kepada semua stakeholder, masyarakat.

Tanggung jawab mahasiswa adalah menjalani kuliah dengan sebaik-baiknya, memastikan bahwa ia mendapat apa yang menjadi haknya (yang telah diberi oleh masyarakat yang lain), serta lulus dan menggunakan pengetahuannya untuk kepentingan orang banyak.

Tanggung jawab penyelenggara pendidikan adalah memberi layanan pendidikan, sesuai standar kompetensi.

Jadi tuntutannya bukan fasilitas dan transparansi dana (!), melainkan layanan pendidikan.

Ilustrasinya begini. Ada SPBU yang toiletnya bersih ada SPBU yang toiletnya kotor. Tapi apakah konsumen menuntut toilet yang bersih dari sebuah SPBU? Tidak. Tuntutan yang paling relevan dari seorang konsumen SPBU adalah layanan pengisian bahan bakar yang tepat takarannya, bersih, dan cepat, dan mengembalikan uang recehan. Itu tuntutan untuk sebuah SPBU, sementara toilet yang bersih atau musola, atau lap kaca—misalnya, hanya merupakan added value sebagai penunjang layanan inti.

Sama dengan di perguruan tinggi. Pertama-tama mereka menyediakan jasa pendidikan. Manifestasinya berupa kebijakan, program, hingga pelaksanaan pendidikan.

Misalnya, Fikom bertugas menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam bidang komunikasi.

Pertama, mereka harus merumuskan standar kompetensi seperti apa yang mereka tawarkan. Standar kompetensi yang dijanjikan ini, sederhananya dalam bentuk Jurusan dan Gelar (PAKT, D3, S1, Broadcasting, S.Sos dalam bidang PR).

Kedua, untuk mencapai kompetensi ini mereka merumuskan program, kurikulum, materi.

Ketiga, untuk mencapai kompetensi tersebut, melalui program yang telah dibuat, mungkin membutuhkan berbagai penunjang. Misalnya tenaga pengajar, ruang kelas, lab, kegiatan praktikum, toilet, kantin. Semua ini kemudian menyusul belakangan. Pengadaan setiap penunjuang ini, harus jelas apa relevansi dan urgensinya dengan tujuan utama pendidikan tinggi itu sendiri (penyelenggaraan pendidikan).

Jadi, ketika kita semua terjebak pada transparansi dana dan fasilitas, kita semua terjebak pada hal yang tidak fundamanetal dan melupakan inti dari semua ini.

Yang pertama kita tuntut seharusnya proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Apa yang telah diberikan oleh PTN untuk mencerdaskan mahasiswa. Bagimana kontrol dan pengembangan mutu pendidikan. Itu.

Bagaimana mahasiswa dapat mengajukan tuntutan kepada perguruan tinggi, kalau mereka sendiri tidak tahu apa yang seharusnya mereka tuntut. Layanan pendidikan seperti apa yang seharusnya mereka harapkan. Program pendidikan sepertai apa yang seharusnya mereka harapkan. Hingga dibreakdown ke hal terkecil. Tapi berangkat dari peta, gambar besarnya dulu. Jadi ngga sporadis dan reaktif.

Berarti yang urgen adalah tersedianya Cetak Biru Program Pendidikan.
Gambar/skema/diagram ini harus dirumuskan dengan melibatkan semua stakeholder mulai dari akademisi hingga kalangan industri dan dunia usaha, lalu hasilnya harus dapat diakses semua orang terutama mahasiswa dan orangtua dan masyarakat.

Jika semua orang tahu seperti apa Ideal State (cetak biru tsb) semua orang dapat ikut mengontrol, apakah benar cetak biru itu yang diusung. Apakah memang seluruh kegiatan di dalam perguruan tinggi itu memang ditujukan untuk mewujudkan cetak biru tersebut.

Karena itu, pertama yang paling penting komitmen semua pihak. Kedua, kordinasi dan sinergi. Ketiga, akses informasi. Keempat, saluran kontrol dan aspirasi. Kelima, mekanisme evaluasi. Kelima hal ini yang mungkin harus ada dalam setiap penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Cetak biru (the ideal state) yang saya maksud, bentuknya terdiri dari berbagai tahap dan tingkatan. Mulai dari yang paling general, tujuan pengajaran, silabus mata kuliah, hingga agenda kegiatan belajar mengajar. Semua inilah yang harus dapat diakses semua orang lalu diusung bersama-sama.

Kondisi ini masih jauh untuk dapat menjadi kenyataan, ketika banyak mahasiswa yang tidak hapal apa saja matakuliah yang diambilnya pada suatu semester, ketika dosen gelagapan ketika dimintai silabus kuliahnya.

Tidak heran jika ada dosen yang mengulang-ulang materi kuliah setiap minggu, dan tidak ada mahasiswa yang memprotesnya.

Ketika di tengah jalan kita tidak tahu arah, kita masih bisa bertanya.
Tapi jika di tengah jalan kita lupa sama tujuan kita sendiri, mau bertanya sama siapa?

No comments: