Thursday, August 24, 2006

Kepada Siapa Pembuat Iklan Bertanggung Jawab?

Saya sering membayangkan. Sekumpulan orang kreatif sedang brainstorming, ketawa ketawa sambil nunggu delivery junkfood mereka datang. Sementara itu para Manajer Pemasarannya Klien mencibir, "Lihat mereka, berandalan urakan yang sombong, making fun of our precious budget"

Saya ingat sebuah tulisan orang bule di Cakram edisi lama yang sampulnya cewe keriting makan Indomie. Tulisan itu tentang model Fee perusahaan Iklan. Dia merekomendasikan sebuah model Bagi Hasil, di mana pekerjaan Agency diukur dari pencapaian yang diharapkan. Sebuah model Kemitraan.

Kepada siapa pembuat iklan harus mempertanggungjawabkan karya mereka?
(ini mengingatkan kita pada Sembilan Elemen Jurnalisme, Kovach&Rosenthiel)

Kepada orang Account?
Kepada Pak Bos yang menggaji?
Kepada keluarga dan pacar?
Kepada klien?
Kepada sekelompok Watchdog yang berpedoman pada sebuah Etika Periklanan?

Kita semua, dengan serempak mungkin akan mengatakan bahwa orang iklan bertanggungjawab terutama kepada masyarakat. Kepada merekalah pesan berupa iklan tersebut ditujukan. Dan merekalah yang diharapkan akan memberi respon terhadap pesan tersebut. Namun masalahnya bukan hanya tentang kepada siapa, tetapi bagaimana cara mempertanggungjawabkan dan mengevaluasi karya iklan tersebut.

Tapi kemudian kita akan terjebak dalam teks (Etika Periklanan?). Dilarang mencantumkan kalimat superlatif: ter-, paling, dsb. Padahal sebuah karya tidak dapat dipahami sedemikian sederhana dan tekstual saja. Jadi bagaimana?

Tugas seorang pembuat iklan bukan hanya membujuk dan merayu, bukan pula membuat lucu-lucuan dari budget klien.Tugas seorang pembuat iklan adalah, membantu khalayak untuk menemukan relevansi antara sesuatu yang ditawarkan, dengan apa yang menjadi kebutuhan mereka.
And there you have it.

Definisi ini sudah mulai bisa dioperasionalisasikan, dalam rangka merumuskan metode evaluasi dan pertanggungjawaban. Sekaligus juga, definisi ini begitu rentan terhadap kritik. Maka silahkan disanggah. Terimakasih.

Dan untuk kita renungkan, seorang dosen saya pernah berkata:
"Suatu hari nanti kalian mungkin akan lulus dan segera menjadi buruh. Namun setidaknya saya berharap agar kalian tidak menjadi buruh-buruh yang naif, melainkan buruh yang dapat melihat The Big Picture atas apa yang sedang terjadi"

Dosen saya itu bukan sembarang Marxist. Dia adalah perempuan bergelar Doktor yang masih melajang. Dengan pesona intelektual.

Dan kita adalah buruh. Buruh berkerah. Buruh bermobil. Buruh dalam cubicle yang stylish, dengan akses wifi dan AC yang dingin di lantai sekian. Buruh dengan Kartu Hutang berwarna Silver atau Bening. Maka, mari kita menjadi buruh yang sadar. Buruh yang dapat melihat GambarBesar atas apa yang sedang terjadi. There's a lot more to think about.

No comments: