Wednesday, December 06, 2006

Ideologi dalam Secangkir Kopi


Look and feel secangkir kopi dari mesin otomat Nestle di cK, beserta segenap pengalaman membeli,
mendapatkan, dan menikmatinya di tengah praktek sosiokultural dalam pergaulan remaja masa kini, merupakan topik kita kali ini. Semiotika banget lah.

Banyak cara dan sudut pandang dalam melihat sesuatu. Dalam perspektif cultural studies, kita melihat segala artefak budaya sebagai teks. Teks dan bahasa-bahasa itu digunakan dalam wacana, praktek sosial. Dan masyarakat berbagi kognisi sosial. Melalui produksi dan pertukaran makna itu kita menyepakati makna yang serupa untuk suatu tanda. Karena praktek wacana tersebut tidak hanya melibatkan bahasa yang lugas melainkan juga berbagai teks-teks yang kompleks, bersilangan dan abstrak, seringkali kita mencapai kesetujuan-kesetujuan tanpa benar-benar menyadarinya.

Ketika mendorong pintu kaca, keluar dari sebuah toko 24 jam, perlahan saya menyadari sesuatu yang ternyata telah saya setujui bersama segenap generasi saya. Coffee in a paper cup seakan jadi simbol untuk nongkrong bareng dan begadang di jalan-jalan tergaul Bandung. Cangkir-cangkir kertas berserakan di sekitar tangga, di sudut-sudut emperan, dan di sekitar tempat-tempat yang dipakai untuk duduk. Tidak hanya cangkir, tapi juga abu rokok, botol-botol hijau, dan kemasan plastik.

Pada saat yang sama, saya menggenggam cangkir kertas serupa. Hangat dan mengepulkan aroma manis yang begitu familiar. Nescafe black with creamer and two sugars. Dalam cangkir corrugated paper dengan tutup plastik “sip through”.

Cangkir kertas yang menahan panas, serta tutup plastiknya yang mencegah tumpah, tidak hanya memiliki tujuan fungsional. Saya melihatnya sebagai gejala intertekstualitas, mengingat kemasan ini digunakan juga oleh Starbucks—dan kedai semacamnya.

Jenis cangkir kertasnya beda, tapi bentuk dan strukturnya serupa. Ini tidak saya lihat secara fungsional dan ergonomis, melainkan peniruan sintagmatik. Sintagmatik adalah tentang struktur dan susunan, sementara paradigmatik adalah pemilihan varian elemen di dalamnya.

Walaupun nescafe instan ini harganya sepersepuluh espresso betulan, menggenggam cangkir kertas ini dapat dihubungkan dengan familiarnya seseorang dengan Starbucks. Konotasi berikutnya, Starbucks dapat dihubungkan dengan daya beli, selera dan gaya hidup. Gejala konotasi yang berlapis ini dari Barthes.

Kopi dan kafein berhubungan dengan etos hardworking, bisa juga dengan kegemaran begadang. Yang jelas kopi adalah bekal nongkrong yang asik. Sejak kapan manusia membagi waktu menjadi saat bersantai dan bekerja?

Kopi ini tidak akan tumpah oleh guncangan, ini berhubungan dengan mobilitas. Kita lalu dapat menikmati kopi hangat di mana saja tanpa teko, termos, stoples gula, misalnya. Ini konsep portabilitas. Konsep mobilitas dan konsep portabilitas punya kaitan yang erat. Bagaimana kalau saya menghubungkannya dengan telepon genggam, komputer jinjing dan ipod. Dari sini banyak lagi konotasi yang dapat digali tentang portabilitas dan mobilitas.


Konotasi-konotasi dan konsep portabilitas dan mobilitas itu sendiri, berujung pada mitos tentang peradaban modern. Bahwa orang-orang modern sibuk dengan aktivitas dan pergi kesana kemari. Mitos ini juga tentang convenience. Bahwa teknologi modern memudahkan hidup kita.

Dari konsep convenience ini kita bisa memahami kenapa Yamaha Mio begitu populer, kenapa muncul mobile banking, layanan pesan antar, pengering tangan otomatis, dan MacBook. Mungkin kita belum sedemikian sibuk dan repot, tapi convenience menyematkan kita sebagai bagian dari peradaban modern.

Kita melihat bahwa saya melakukan upaya menghubung-hubungkan. Walaupun mungkin nampak mengada-ada di sana-sini, tapi somehow semua ini make sense juga buat Anda.

Jika hubungan-hubungan yang saya imajinasikan sesuai dengan imajinasi Anda juga, berarti kita berbagi ideologi yang sama. Althusser lah yang mendefinisikan ideologi sebagai hubungan imajiner.

Anda semua membaca ini berarti familiar dengan blog, pengguna aktif internet. Kita berbagi peradaban modern yang sama, ideologi-ideologi dan mitos yang sama.

Banyak isu lain yang bisa kita gali, sebenarnya. Konsep lain seperti narsisisme, eksistensi, metroseksualitas, youth culture. Hanya saja kalo saya terus meracau, tambah kelihatan bolong-bolong penguasaan materi dan tumpulnya analitis saya.

Buat saya ini sekadar perenungan terhadap pengalaman-sehari-hari. The rediscovery, the amazement, proses-proses ini tidak akan saya nikmati kalo segalanya terlanjur diterima apa adanya. Lahir dan besar di kota, semoga saja saya tetap kampungan.

5 comments:

Anonymous said...

rasanya emang kaya berada dalam titik "puncak" bgt kalo lagi hujan ato di bandung yang sejuk menikmati secangkir kopi panas yang praktis dengan aroma2 yang luar biasa membuat hidung pun seakan menari2 salsa bersama aroma yang dibawa "asap" / uap panas hasil reaksi fisika yang timbul dari kopi panas tersebut.
dan anehnya secara gak sadar emang tampak cool banget ketika menimati kopi entah di suatu tempat yang kebetulan dibuat oleh "ahli astronomi" yang makannya toko tersebut akhirnya disebut STARbucks ato pun secangkir nescafe di sebuah toko dari seoarang ahli matematika yang mengeluarkan rumus "lingkaran K = 24 jam".
Dan itu tuh menggambarkan selera masyarakat Urban yang lagi nge-trend yang terkesan "yoi" dan "trendy" ( bahasa taun 90-an bgt ya) yang sebetulnya secara gak sadar termakan hasutan-hasutan yang "mengalir" mamasuki alam bawah sadar dan "menghasut" naluri dan nalar...
Tapi emang itulah bisnis..emng harus diakui secara bisnis produsen / pemilik gerai2 tersebut berhasil membuat kita pada akhirnya menikmatinya dan juga merasa Keren ketika meminumya denga penuh Style gtu..emang aneh!!

Anonymous said...

Saya sudah sampai di suatu titik dimana saya ngge merasa nongkrong di starbuck itu keren, atau menggenggam paper cup berisi caramal machiato itu keren... itulah yang saya jalani sekarang... krn di starbuck lah orang mengundang meeting, dimana harga sebotol aqua sama dengan satu cappucino size tall... krn memang tidak ada pilihan selain kelihatan keren... GAWAT! saya udah ngga kampungan, pantesan pisau analisis saya menumpul...

Anonymous said...

apa sih keren? kalo ordinary tuh apa??

Beginih menurut sayah... sesama orang kota, belom tentu punya persepsi soal gaya hidup yang sama, tergantung anaknya siapa, tetangganya siapa, status sosial, ekonomi, dll (yeah...yeah... teori yang udah bulukan ituh...)
Mungkin sebagian besar fashion victim (kita semua adalah) berpendapat starbuck itu keren, tapi klo menurut anaknya Bapak anu (yang juga orang gaul dan anak kota) dia berpendapat : "memalukan!!" orang kota buang2 duit!! , hanya untuk sebuah style dia rela mengocek kantongnya untuk hal2 yang sebenernya bisa dibikin sendiri..."
"Sudah semalas itukah orang kota, sudah sesibuk itukah orang kota?, sedangkan mereka sendiri masih sibuk soal style "nongkrong" gituh... kegiatan yg masih bisa diganti dengan kegiatan yg lain.."

Anonymous said...

hihihihi... lagi-lagi ini kan hanya urusan semiotik, sebuah pisau analisis yang sangat subjektif...
ada yang berhak bilang starbuck itu keren, ada yang berhak bilang itu memalukan...
sama juga dengan... ada yang berhak bilang style nongkrong itu kegiatan tidak berguna, ada juga yang berhak bilang nongkrong berarti bikin duit atau "retreat" (kalo bahasanya foucault, ini adalah sebuah kegiatan yang outputnya produktif)

:p

Anonymous said...

"Mungkin kita belum sedemikian sibuk dan repot, tapi convenience menyematkan kita sebagai bagian dari peradaban modern".........

Lama saya berhenti pada bagian ini, lamat-lamat mencernanya... dan tersadar bahwa saya setuju betul sama kata-kata kamu itu..

mungkin kita emang belum sesibuk itu, atau mungkin juga sebagian org lainnya protes karena merasa sudah sesibuk itu.. Tp saya yakin ga ada yg protes bahwa konsep convenience itu sendiri sekarang udh jd branding image tersendiri.

convenience[beserta konsep2 semisal portabilitas dan mobilitas yg td kamu bilang]=teknologi=moderen=canggih=ciamik= sophisticated=cool=gaul bgt ih= ngota (baca:ng-kota) de..es..be..

kalo kamu td memulai ini smua sbg bagian dr konsep dasar komunikasi--pertukaran&persepakatan makna dst--maka saya setuju, memang ada pemaknaan tertentu dari hal-hal seremeh apapun..
dalam hal ini fenomena kopi (yg klo mo disangkutin ma sosiokultural emang udh bergeser g sekadar fungsional) ditambah dengan masalah kemasan, image, dsb emang bikin pemaknaan tersendiri...

klo citz di atas bilang, dia udah ga kampungan jadi pisau analisisnya menumpul, kalau saya malah ngerasa yg saya punya belum menyerupai pisau sama sekali..masih setumpul palu godam..ga tau butuh berapa lama kalau mau sampai setadjem tadjem.. hehe maksud saya setajem pisau kamu mam..haha..

imam..saya meracau di blog kamu.. heuheu..moga2 saya bisa banyak belajar dr bc outstandjing.. sumpah saya ngerasa goblok tadi pas pertama mulai postingan kamu..hehe